
FTA China-ASEAN, Siapa Rajin Garap PR
Kompas/Riza Fathoni
Suasana perdagangan garmen produksi China di salah satu los di Pasar Tanah Abang, Jakarta, beberapa waktu lalu. Sekitar 70 persen produk tekstil di tempat tersebut dari China, sementara sisanya berasal dari lokal dan India.
Minggu, 3 Januari 2010 | 10:03 WIB
Anastasia Joice Tauris Santi
KOMPAS.com - Dalam satu kelas, biasanya ada murid yang mengerjakan tugas dengan baik dan ada pula yang setengah-setengah, atau bahkan tidak mengerjakan pekerjaan rumah sama sekali. Konteks ini tidak hanya berlaku di kelas sempit, tetapi juga dalam konteks ”ruang kelas” yang lebih besar.
Mulai 1 Januari 2010, kawasan perdagangan bebas antara China dan ASEAN (free trade area/FTA) mulai berlaku. FTA akan melibatkan enam negara ASEAN, yaitu Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Pada tahap kedua tahun 2015, FTA melibatkan anggota lain, yaitu Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam.
Dengan adanya FTA tersebut, 90 persen produk China dan ASEAN akan menikmati tarif nol persen. FTA China dan ASEAN merupakan FTA terbesar yang pernah ada. Total populasi yang dilingkupi FTA tersebut mencapai 1,9 miliar orang. China telah menjadi mitra dagang ketiga terbesar ASEAN dengan total nilai perdagangan sebesar 230 miliar dollar AS pada tahun 2008.
Tidak ada yang meragukan kemampuan ekonomi China. Negara yang memiliki sejarah lebih dari 2000 tahun itu baru membuka diri terhadap ekonomi pro pasar 30 tahun lalu. China baru bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 2001. China telah menandatangani FTA dengan Chile (2005), Pakistan (2006), Selandia Baru (2008), dan Peru (2009). Dalam waktu yang terhitung singkat itu juga terlihat banyak sekali perubahan dan perbaikan terutama perdagangan. Pada akhir tahun 2009, mereka telah mengalahkan Jerman sebagai negara pengekspor terbesar di dunia.
Tentu semuanya itu tidak didapatkan tanpa kerja keras. Uni Eropa dan AS berkali-kali mengeluhkan praktik dagang China yang memang terkadang tidak sesuai aturan perdagangan dalam kerangka WTO, seperti insentif industri yang terkadang merupakan subsidi terselubung.
Banyak insentif
China memang mati-matian menggenjot ekspornya yang menempati porsi lebih dari 30 persen dari pertumbuhan ekonominya. Selain alasan ekonomi standar, versi pejabat, seperti meningkatkan ekspor China, memastikan akses ke pasar dan bahan mentah, dan mengundang investor asing; motivasi utama aktivitas perdagangan China tampaknya soal strategis. Di kawasan Asia Tenggara, FTA China dengan ASEAN didorong oleh alasan politis untuk menanggapi kompetisi regional di perekonomian global, memperkuat hubungan ekonomi dengan ASEAN dan mengurangi kekhawatiran mereka tentang China.
Untuk mendukung ekspor, dalam masa paceklik tahun 2009 saja China sudah tujuh kali mengurangi pajak ekspor. Kinerja ekspor China melorot karena pelemahan ekonomi global. Potongan pajak ekspor itu memengaruhi 3.770 barang ekspor, atau 27,9 persen dari semua produk dari China.
Hingga saat ini, banyak pihak yang kesulitan mengatakan apakah pemotongan pajak ekspor melanggar peraturan perdagangan dalam kerangka WTO atau tidak karena memang tidak diatur dengan jelas.
Selain itu, pemerintah juga memangkas biaya premi untuk meningkatkan cakupan kredit ekspor. Pemerintah juga memperkenalkan penyelesaian transaksi dalam mata uang yuan sebagai proyek percontohan untuk menolong eksportir dalam menghadapi risiko fluktuasi kurs. Sudah lama juga mitra dagang China mengeluhkan patokan kurs yuan terutama terhadap dollar AS. Kurs yuan yang rendah menyebabkan barang-barang ekspor China menjadi lebih murah. Dana Moneter Internasional (IMF) pun ikut menekan China agar lebih fleksibel dalam menentukan kursnya sesuai dengan keadaan di pasar.
Soal produktivitas, China juga ternyata memang lebih besar dibandingkan dengan di negara lain. Menurut data terakhir, output pekerja di AS per jam kerja naik sebesar 4,3 persen tahun lalu. Hal itu disebabkan karena banyaknya PHK, sedangkan di China produktivitas tenaga kerja naik 7-8 persen. Kenaikan produktivitas China sebagian besar disebabkan aliran investasi besar-besaran. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengatakan, kenaikan produktivitas buruh di China dipengaruhi oleh ekspansi masif perusahaan swasta, peralihan pekerjaan dari sektor pertanian menjadi pekerjaan yang lebih produktif pada sektor industri. Menurut Goldman Sachs, rata-rata pengembalian modal fisik (return on physical capital) China lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata dunia. Satu dekade lalu, angka itu masih jauh di bawah rata-rata dunia.
Upah minimal buruh di China juga tidak terlalu berbeda jauh dengan upah di Indonesia. Di China, upah buruh juga ditentukan menurut kawasan. Pertengahan tahun ini, upah minimal di kawasan industri Shenzhen naik 20 persen menjadi 1.000 yuan atau setara dengan Rp 1,4 juta per bulan. Shenzhen merupakan wilayah dengan UMR tertinggi di China. Sementara upah di kawasan pinggiran Shenzhen naik 20 persen dari 750 yuan atau Rp 1.050.000 menjadi 900 yuan atau Rp 1,26 juta.
Dukungan terhadap industri juga didapatkan dari kalangan perbankan. Tingkat suku bunga utama di China tahun 2009 tetap 5,31 persen. Bank sentral China berjanji akan melaksanakan pengenduran kebijakan moneter untuk mendukung perekonomian. Perbankan juga diminta tetap mengucurkan kredit kepada industri. Tahun 2008, China melaksanakan kebijakan moneter ketat dan kuota untuk mengontrol pinjaman dan ini dianggap menjadi penyebab penurunan perekonomian China pada kuartal keempat 2008.
Dari data-data di atas, jelas terlihat siapa sebenarnya yang mengerjakan tugas-tugas dengan baik dan siapa yang tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar